PENALARAN
Penalaran
Cara berpikir
yang bertolak dari peengamatan indera (pengamatan empirik) yang
menghasilkan beberapa konsep dan
pengertian. Penalaran juga bisa dibilang membentuk sebuah proposisi
sejenis,berdasarkan proposisi yang dianggap benar,dan menyimpulkan sebuah proposisi
baru yang sebelumnya tidak diketahui. Secara sederhana, penalaran dapat
didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan
proporsi-proporsi yang mendahuluinya.
Wujud dari evidensi
Dalam wujudnya yang
paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang dimaksud dengan
data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber
tertentu. Biasanya semua bahan informasi berupa statistik, dan
keterangan-keterangan yang dikumpulkan atau diberikan oleh orang-orang kepada
seseorang, semuanya di masukkan dalam pengertian data (apa yang diberikan) dan
infromasi (bahan keterangan). Pada dasarnya semua data dan informasi harus
diyakini dan diandalkan kebenarannya. Untuk itu penulis atau pembicara harus
mengadakan pengujian atas data dan informasi tersebut, apakah semua bahan
keteraangan itu merupakan fakta. Fakta adalah sesuatu yang sesungguhnya
terjadi, atau sesuatu yang ada secara nyata. Bila seorang mengatakan bahwa ia
telah melihat kapal musuh mendarat di sebuah pantai yang sepi, itu baru
merupakan informasi.
Ada kemungkinan bahwa
bisa terjadi kesalahan dalam evidensi itu. Dalam hal ini pembela akan
mengajukan evidensi yang lain dengan mengatakan bahwa seorang yang lain telah
mencuri pisau itu dan telah mempergunakannya untuk melakukan pembunuhan. Secara
diam-diam pisau itu dikembalikan dan tanpa sadar telah dipegang oleh pemiliknya
itu. Fakta-fakta yang dipergunakan sama, hanya proses penalaran yang disusun
berdasarkan fakta-fakta itu berlainan.
Cara
menguji data, menguji fakta, menilai autoritas
Cara Menguji Data
a. Observasi
Fakta-fakta yang
diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau
penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat
menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha meyakinkan para pembaca, maka
kadang-kadang pengarang merasa perlu untuk mengadakan peninjauan atau observasi
singkat untuk mengecek data atu informasi itu. Tiap pengarang atau
penulis harus mengadakan pengujian lagi dengan mengobservasi sendiri data atau
informasi itu. Sesudah mengadakan observasi, pengarang dapat menentukan sikap
apakah informasi atau data itu sesungguhnya merupakan fakta atau tidak, atau
barangkali hanya sebagian saja yang benar sedangkan sebagian lain hanya
didasarkan pada perasaan dan prasangka para informan.
b. Kesaksian
Keharusan menguji data
dan informasi, tidak selalu harus dilakukan dengan observasi. Kadang-kadang
sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakn obeservasi atas obyek yang
akan dibicarakan. Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang
harus dikeluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat
melakukan pengujian dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain,
yang tidak mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu.
Demikian pula halnya
dengan semua pengarang atau penulis. Untuk memperkuat evidensinya, mereka dapat
mempergunakan kesaksian-kesaksian orang lain yang telah mengalami sendiri
perisitiwa tersebut.
c. Autoritas
Cara ketiga yang dapat
dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta
pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka
yang telah menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua
kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai
dengan keahlian mereka dalam bidang itu.
Cara Menguji Fakta
a. Konsistensi
Dasar pertama yang
dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah
kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang
tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi
bertentangan atau melemahkan evidensi yang lain.
b. Koherensi
Dasar kedua yang dapat
dipakai untuk mengadakan penilaian fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai
evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai
evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan dipergunakan sebagai
evidensi harus pula koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai
dengan pandangan atau sikap yang berlaku. Bila penulis menginginkan agar
sesuatu hal dapat diterima, ia harus meyakinkan pembaca bahwa karena pembaca
setuju atau menerima fakta-fakta dan jalan pikiran yang menemukakannya, maka
secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
Cara Menilai Autoritas
a. Tidak Mengandung
Prasangka
dasar pertama yang
perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak
boleh mengandung prasangka. Yang tidak mengandung prasangka artinya pendapat
itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri, atau
didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak
mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak
boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya.
b. Pengalaman dan
Pendidikan Autoritas
dasar kedua yang harus
diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut
pengalaman dan pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperolehnya harus
dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli yang
diperoleh melalui pendidikannya tadi.
Walaupun jaman kita ini
sudah begitu condong atau cenderung dengan berbagai macam spesifikasi, namun
kita tidak boleh mengabaikan keahlian seseorang dalam beberapa macam bidang
tertentu.
c. Kemashuran dan
Prestise
faktor ketiga yang
harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah
pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar
bersembunyi di balik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain. Sering terjadi bahwa
seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang
pula dalam segala bidang. Seorang yang menjadi terkenal karena memperoleh lima
medali emas berturut-turut dalam
pertandingan lomba lari jarak lima ribu meter, diminta pendapatnya tentang
cara-cara pemberantasan korupsi.
d. Koherensi dengan
Kemajuan
hal keempat yang perlu
diperhatikan penulis argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan
autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan
pendapat atau sikap terakhir dalam bidang itu. Pengetahuan dan
pendapat terakhir tidak selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik.
Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terakhir dari ahli-ahli dalam
bidang yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu
memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat
sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya, sehingga
mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat
dipertanggung jawabkan. Sebab itu untuk memberi
evaluasi yang tepat terhadap autoritas yang dikutip, pengarang harus menyebut
nama autoritas, gelar, kedudukatif, dan sumber khusus tempat kutipan itu
dijumpai. Bila mungkin penulis harus mengutip setepat-tepatnya kata-kata atau
kalimat autoritas tersebut.
Untuk memperlihatkan
bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah
diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan
hanya pada satu autoritas.
Silogisme
Kategorial, Silogisme Hipotesis dan Silogisme Alternatif
Silogisme Kategorial
Silogisme kategorial
adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan kategorial. Proposisi yang
mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi
premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis
yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan di antara kedua premis
tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh :
My : semua mahasiswa
adalah lulusan SMA
Mn : Rizfar adalah
mahasiswa
K : Rizfar lulusan MA
My : Semua pelajar
memiliki buku tulis
Mn : farizya tidak
memiliki buku tulis
K : farizya bukan
pelajar
Silogisme Hipotesis
Silogisme Hipotesis
adalah jenis silogisme yang terdiri atas premis mayor yang bersifat hipotesis
,dan premis minornya bersifat katagorial. Silogisme Hipotesis ini dapat
dibedakan menjadi 4 macam , yaiu :Silogisme hipotesis yang premis minornya
mengakui bagian antecedent. Contoh:Jika hari ini cerah , saya akan ke rumah
kakek ( premis mayor Hari ini cerah ( premis minor )Maka saya akan kerumah
kakek ( kesimpulan ). Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian
konsekuenContoh:Jika hutan banyak yang gundul , maka akan terjadi global
warming ( premis mayor )
Para demonstran akan
turun kejalan
Jadi presiden mubarak
tidak turun.
Sekarang terjadi global
warming (premis minor)
Maka hutan banyak yang
gundul (kesimpulan).
Silogisme hipotesis
yang premis minornya mengingkari antecedent
Contoh :
Jika pembuatan karya
tulis ilmiah belum dipersiapkan dari sekarng, maka hasil tidak akan maksimal
Pembuatan karya ilmiah
telah dipersiapkan
Maka hasil akan
maksimal
Silogisme hipotesis
yang premis minornya mengingkari konsekuen
Contoh :
Bila presiden mubarak
tidak turun ,para demonstran akan turun kejalan.
Silogisme Alternatif
Silogisme alternatif
adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh:
Nenek Sumi berada di
Bandung atau Bogor.
Nenek Sumi berada di
Bandung.
Jadi, Nenek Sumi tidak
berada di Bogor.
Pola
berfikir Induktif
Berpikir Induktif
Induksi adalah cara
mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk
menentukan hukum yang umum. Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam
menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum
(filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005) Berpikir induktif
adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus
ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi
fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode
berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com)
Jalan induksi mengambil
jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan
jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu
persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara
bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan,
sekelas dengan dia benar pula.
Penalaran ilmiah pada
hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana
lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran
induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara
konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara
pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji
kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya
hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut
hipotesis.
Hipotesis ini pada
dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari
pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian pada tahap
pengujian hipotesis proses induksi mulai memegang peranan di mana dikumpulkan
fakta-fakta empiris untuk menilai apakah suatu hipotesis di dukung fakta atau
tidak. Sehingga kemudian hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak.
Maka dapat disimpulkan
bahwa penalaran deduktif dan penalaanr induktif diperlukan dalam proses
pencarian pengetahuan yang benar.
Sumber :
http://hadi27.wordpress.com/penalaran-dalam-penulisan-karya-ilmiah/
http://anggiehasan12.blogspot.com/search?updated-min=2014-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2015-01-01T00:00:00-08:00&max-results=4
http://kartikagustina.blogspot.com/2013/04/pengertian-penalaran.html