MANUSIA DAN KESUSASTRAAN
Sebagai
makhluk hidup yang diciptakan sempurna dari pada makhluk lainnya, manusia
diberikan kelebihan untuk berinteraksi dengan sesama manusia menggunakan
bahasa. Tetapi bukan hanya bahasa yang biasa-biasa saja yang digunakan manusia
untuk berinteraksi, tapi juga bisa menggunakan gaya bahasa yang unik, yaitu
salah satunya dengan menggunakan puisi sebagai salah satu dari Sastra.
Disinilah salah satu letak kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lainnya.
Saya
mempunyai seorang sahabat, dia seorang seni. Tapi bukan seni puisi melainkan
seni lukis, tapi dia juga pandai dalam membuat puisi. Dalam melukis dia tidak
perlu menggunakan rumus yang baku seperti matematika, yang siperlukan adalah
explorasi, yang bisanya diambil dari kehidupan. Seperti halnya seorang
sastrawan dalam membuat sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar
dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut
dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu
majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan
sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah
imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam
wujud karya sastra. Saya pikir, seorang sastrawan mokal akan menghindari proses
kreatif semacam itu.
Dalam
konteks demikian, manusia, masalah, dan lingkungannya itulah yang menjadi titik
bidik para sastrawan dalam berproses kreatif. Seorang sastrawan, kebanyakan
juga seorang intelektual. (Istilah intelektual tidak selalu merujuk pada
derajat dan tingkat pendidikan). Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi,
mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang sangat peka. Dalam
hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang
sosiokultural yang melingkupi kehidupan sang sastrawan.
Sastrawan
akan terus berupaya menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak
gendang nuraninya agar mampu dimaknai dan dinikmati oleh pembaca. Visi dan
persepsi sang sastrawan tentang eksistensi manusia diharapkan akan bisa
ditangkap dan dicerna oleh pembaca, agar pembaca, paling tidak, terangsang
untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memiliki
kecenderungan untuk memuaskan kebuasan hati. Ini artinya, persoalan amanat,
tendensi, unsur edukatif, dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan
dalam karya sastra. Bahkan, unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling
esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur
estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih
sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya
bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang
meng-ekspose kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah
masyarakat.
Sastra
lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret
sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang
juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang
khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu
yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah,
mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha
memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Kesusastraan
Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan
dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan
sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja
perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada
zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra
yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem
kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat.
Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk
tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda
(modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam
karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah
perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada
zaman itu.
Pada
zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak
tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka
menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Perubahan drastis dalam
kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara
Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa
pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi
diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat
propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur
Raya.
Selepas
Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya
menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam
karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan
puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Babak baru
muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan
politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran,
bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh
dimasuki kepentingan politik. politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian
menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi,
kesusastraan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar