Jumat, 08 Juni 2012

MANUSIA DAN KESUSASTRAAN


MANUSIA DAN KESUSASTRAAN

Sebagai makhluk hidup yang diciptakan sempurna dari pada makhluk lainnya, manusia diberikan kelebihan untuk berinteraksi dengan sesama manusia menggunakan bahasa. Tetapi bukan hanya bahasa yang biasa-biasa saja yang digunakan manusia untuk berinteraksi, tapi juga bisa menggunakan gaya bahasa yang unik, yaitu salah satunya dengan menggunakan puisi sebagai salah satu dari Sastra. Disinilah salah satu letak kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lainnya.

Saya mempunyai seorang sahabat, dia seorang seni. Tapi bukan seni puisi melainkan seni lukis, tapi dia juga pandai dalam membuat puisi. Dalam melukis dia tidak perlu menggunakan rumus yang baku seperti matematika, yang siperlukan adalah explorasi, yang bisanya diambil dari kehidupan. Seperti halnya seorang sastrawan dalam membuat sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam wujud karya sastra. Saya pikir, seorang sastrawan mokal akan menghindari proses kreatif semacam itu.

Dalam konteks demikian, manusia, masalah, dan lingkungannya itulah yang menjadi titik bidik para sastrawan dalam berproses kreatif. Seorang sastrawan, kebanyakan juga seorang intelektual. (Istilah intelektual tidak selalu merujuk pada derajat dan tingkat pendidikan). Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang sangat peka. Dalam hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sang sastrawan.

Sastrawan akan terus berupaya menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak gendang nuraninya agar mampu dimaknai dan dinikmati oleh pembaca. Visi dan persepsi sang sastrawan tentang eksistensi manusia diharapkan akan bisa ditangkap dan dicerna oleh pembaca, agar pembaca, paling tidak, terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memiliki kecenderungan untuk memuaskan kebuasan hati. Ini artinya, persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif, dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkan, unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang meng-ekspose kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah masyarakat.

Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.

Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.

Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.

Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.

Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar